Senin, 18 April 2011


Korupsi di Indonesia sudah 'membudaya' sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam "budaya korupsi" yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan "perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain" dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.

Era Sebelum Indonesia Merdeka


Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya-tradisi korupsi" yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi - memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan - belum nampak di permukaan "Wajah Sejarah Indonesia".

Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.

Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan "character building", mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.

Belanda memahami betul akar "budaya korup" yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik "Devide et Impera" mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta "berintegrasi' seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris "belum mengenal" atau belum memahaminya.

Perilaku "korup" bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar "mengkorup" harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang "luar biasa" baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.

Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat "nrimo" atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.

Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya "dibiarkan" miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak "penguasa".

Budaya yang sangat tertutup dan penuh "keculasan" itu turut menyuburkan "budaya korupsi" di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan "korup" dalam mengambil "upeti" (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.

Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku "memaksa" rakyat kecil, di pihak lain menambah "beban" kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.

Kebiasaan mengambil "upeti" dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 - 1837), Aceh (1873 - 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem "Cuituur Stelsel (CS)" yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat "manusiawi" dan sangat "beradab", namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya "Sistem Pemaksaan". Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan "Sistem Pembudayaan" menjadi "Tanam Paksa".

Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:


1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh "Belanda Item" (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh "Belanda Item" atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh "Belanda Item" yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.

Era Pasca Kemerdekaan


Bagaimana sejarah "budaya korupsi" khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya "Budaya korupsi" yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi - Paran dan Operasi Budhi - namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.

Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah "Operasi Budhi". Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, "prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain".

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

Era Orde Baru


Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya "macan ompong" karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

Era Reformasi


Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya "korupsi" lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit "Virus Korupsi" yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara "konkesuen" alias "kelamaan".

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan। Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat.



http://asepsofyan.multiply.com/journal/item/20

Listrik adalah kebutuhan pokok masyarakat Indonesia saat ini. Permintaan energi listrik untuk masyarakat dan industri di Indonesia memang meningkat, sesuai dengan banyaknya produk-produk yang berbasiskan elektronik. Tetapi PLN sebagai perusahaan otoritas listrik negeri ini mengalami kekurangan daya untuk menyalurkan listrik yang dibutuhkan masyarakat dan industri, walaupun seluruh pembangkit listrik milik PLN beroperasi. Dalam pengoperasian pembangkit-pembangkit tersebut banyak kendala yang dihadapi yaitu masih banyak menggunakannya bahar bakar fosil dalam pengoperasiaanya sehingga menyebabkan terjadinya polusi udara berupa gas SO2, CO2 dan NOX. Memangsih dalam proses pembakaran tersebut diberikan filter untuk mencegah dan mengurangi pencemaran lingkungan yang diakibatkan tetapi biaya yang diperuntukkan untuk itu juga tidaklah murah alias mahal, makanya harga listrik mahal dan tidak kompetitif. Apalagi klo bahan utamanya adalah batubara, pada pembakarannya mengeluarkan Radioaktif alam dan pada saat pengangkutannya juga menyebabkan polusi debu pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) kapasitas 1000 MWe (Mega Watt elektrik) 300 ribu Ton. Memang dalam beberapa tahun terakhir melakukan pencarian tenaga listrik alternatif antara lain, menggunakan seperti panas bumi terbentur akan masalah lokasi, dan teknologi untuk mengatasi belerang belum ada. Sedangkan kalau menggunakan PLTA alias tenaga air, terbentur akan pasokan air tersebut. Dan sebagainya.
Sedangkan kalau kita tetap menggunakan PLTU yang nota bene bahan utamanya adalah bahan bakar fosil, maka baget yang dikeluarkan juga banyak, apalagi masalah distribusinya yang menggunakan transportasi laut yang terpengaruh akan iklim alam. Trus cadangan bahan bakar fosil di Indonesia juga mengalami penurunan besar.
PLTN merupakan salah satu alternatif pilihan karena ekonomis yaitu dengan pembangunan satu PLTN setara dengan PLTU batubara tanpa pengolahan limbah. PLTN banyak digunakan di negara-negara maju, karena keekonomisannya.
Di Amerika pada tahun 1993 pasokan energi listrik dari minyak bumi cuma sekitar 3 %, sedangkan dari nuklir 20%. Di Jepang, lebih bagus lagi karena dalam pembangunanya menggunakan sistem anti gempa. Di Iran, Kanada, Inggris, Korsel dan negara-negara maju lainnya menggunakan PLTN. Apa yang perlu kita takutkan, kalo teknologi untuk mencegah segala kemungkinan telah ada.
oia, acuan dasar pengembangan nuklir di Indonesia, yaitu UU No।10/1997 tentang Ketenaganukliran. Dan sekitar Desember 2006 diterbitkan Peraturan Pemerintah No.43/2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir tertanggal 15 Desember 2006 yang merupakan hasil rembug 15 departemen terkait, termasuk Bapeten. Sedangkan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) sudah menemukan lokasi yang cocok untuk dibangunnya PLTN yaitu semenanjung Muria, Kab. Jepara – Jawa Tengah.
http://trinil.wordpress.com/2009/04/17/pltn/

nuklir sebagai sumber energi listrik

Saat ini sedang ramai dibicarakan rencana pemerintah untuk menggunakan nuklir sebagai sumber energi listrik untuk Jawa. Tempat untuk membangun reaktor nuklir ada beberapa lokasi antara lain Gunung Muria (Jepara, Jawa Tengah), Palau Madura (Jawa Timur), dan Banyuwangi (Jawa Timur). Akan tetapi masyarakat di lokasi yang dipilih, mati-matian menolak rencana pemerintah tersebut. Bahkan terakhir masyarakat Madura menyatakan menolak. Ketika pertama kali dihembuskan rencana membangun reaktor nuklir di Gunung Muria beberapa tahun silam, berbagai elemen masyarakat ramai-ramai menolaknya. Cukup lama rencana tersebut dibenamkan sampai akhirnya muncul lagi. Ketika rencana penggunaan energi nuklir mulai disosialisasikan kembali, terjadi ledakan di Laboratorium Kimia Pusat Pengembangan Industri Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional di Kompleks Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek), Serpong, Tangerang, Banten, awal pekan lalu (10/9/07). Polisi dan Batan memastikan tidak ada dampak radiasi zat radioaktif dari kejadian tersebut. Kita lega. Namun bagi masyarakat, kejadian tersebut tetap mencemaskan. Bagaimana pemerintah mau membangun reaktor nuklir kalau di Puspitek saja bisa jebol. Apalagi ini bukan kejadian pertama. Pada 31 Agustus 1994 telah terjadi ledakan di gudang Pusat Penelitian Teknologi Keselamatan Reaktor Batan. Saat itu seorang karyawan tewas.

Dalam benak masyarakat sudah tertanam, nuklir itu berbahaya. Itu tak salah. Negara pengguna reaktor nuklir di Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat masih pusing memikirkan tempat pembuangan sampah nuklir mereka. Sampah radioaktif bisa menyebabkan munculnya berbagai penyakit mematikan.

Ledakan yang terjadi di Puspitek Serpong kembali “meledakkan” pro-kontra pemanfaatan energi nuklir. Catatan penting dari ledakan itu, penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) memang ada risikonya. Apa yang terjadi di Three Mile Island, AS (1979), dan Chernobyl, Rusia (1986), adalah contoh bagaimana risiko teknologi nuklir.

Akan tetapi nuklir tidak hanya menampakkan wajah yang menakutkan. Nuklir adalah sumber energi listrik luar biasa. Di Puspitek Serpong saja sudah banyak riset dilakukan yang bermanfaat untuk keperluan medis, industri, dan pertanian serta mengukur kadar pencemaran udara. Cukup banyak produk penelitian yang dihasilkan dalam beberapa tahun terakhir, meskipun kalau dibandingkan dengan penelitian di negara lain, apa yang kita hasilkan masih tertinggal jauh. Terlepas dari itu, apa yang diungkapkan ini menunjukkan wajah ramah dari nuklir.

Pemerintah telah memasukkan energi nuklir ke dalam kelompok energi baru dan terbarukan untuk mengatasi krisis suplai listrik di Jawa. Manusia membutuhkan dan menerima teknologi karena dapat memberikan solusi. Namun penemuan satu teknologi akan menimbulkan masalah yang harus diatasi dengan penemuan teknologi baru yang lebih efektif. Pengguna teknologi perlu menyadarinya untuk senantiasa melakukan perbaikan atau penyempurnaan dalam menghadapi risiko karena teknologi tinggi selalu mempunyai risiko jika diterapkan. Namun penerapannya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan kemampuan dan nilai-nilai baru.

Lantas kita sudah siap dengan nuklir? Penerapan teknologi tinggi seperti PLTN selalu membutuhkan disiplin dan memperhatikan detail। Orang Jerman mengatakan, setan ada dalam detail. Artinya, memperhatikan detail penting untuk mengurangi risiko. Ketika mengunjungi Puspitek Serpong Juli lalu, Presiden Yudhoyono mengatakan, bangsa Indonesia kurang teliti, kurang cepat, kurang inovatif, dan kurang mengembangkan bidang riset dan teknologi. Lantas, apa kita sudah siap untuk membangun PLTN?

Suara Pembaruan, 18 September 2007

Kamis, 07 April 2011

Malinda Dee Karyawati Citibank Pembobol Dana 17M

Berita soal malinda dee alias MD karyawati Citibank yang membobol dana nasabah sebesar 17 Milliar kini sedang menjadi topik perbincangan hangat di internet. MD mempunyai pangkat tinggi di Citibank dan bekerja di Citi Landmark. banyak yang bilang MD ini adalah RM alias Relationship manager yang membina hubungan dengan para nasabah citibank.

Kasus penggelapan dana nasabah citibank kini masih terus diselidiki oleh polisi. MD pun telah tertangkap namun sepertinya masih banyak orang yang penasaran dengan siapa itu Melinda Dee? Semenjak foto melinda dee yang seksi itu dipajang di forum terkenal indonesia, sepertinya malah lebih banyak yang berkomentar soal kecantikan dan keseksiannya. memang sih saya akui melinda dee seksi sekali terutama dada nya yang besar sekali.

Malinda merupakan karyawati Citibank senior. Diperkirakan dia sudah bekerja di bank asing itu sekitar 15 tahun.

“Setahun lalu, jabatan dia Senior Relation Manager, dengan pangkat Vice President. Ini pangkat tertinggi untuk karyawan Citibank,” kata sumber yang pernah beberapa tahun bekerja di bank tersebut.

Malinda Dee pernah menjadi account officer (AO) di Citibank cabang Landmark. Para nasabahnya pejabat dan orang-orang kaya, khususnya para pengusaha pribumi. “Setahu saya, Malinda punya prestasi yang sangat bagus,” kata dia yang pernah satu kantor dengan Malinda itu.

“Dia sangat senior dan menjadi panutan di Citibank karena jago mengelola nasabah. Yang saya dengar, dia sudah bekerja di Citibank sudah 15 tahunan,” ujar sumber yang lain. Sehari-hari, dia mengantor dengan mengendarai mobil mewah. Salah satunya mobil Mercedes S 300.

Karena prestasinya, Malinda menjadi Senior Relation Manager Citigold. Jadi, dia memang khusus menangani para nasabah besar yang memiliki deposito di atas Rp 500 juta.

Selama ini, Malinda dikenal sebagai orang yang baik, murah senyum dan berbicara sangat santun. “Dia memang jago dan piawai mengelola hubungan dengan nasabah Citigold, karena memang dia sudah lama di Citibank. Cara bicaranya pelan, santun, murah senyum, baik,” ujar dia.

Karena itu, narasumber ini mengaku terkejut mendengar Malinda Dee ditahan aparat kepolisian dengan dugaan penggelapan dana nasabah. “Semua karyawan Citibank yang bekerja di Landmark, pasti kenal dia,” kata dia.

Sumber itu juga mengakui bahwa Malinda memang cantik dan memiliki postur tubuh yang menarik, meski ada informasi miring yang beredar di kalangan karyawan tentang kecantikannya itu. Usia Malinda juga masih simpang siur. “Ada yang bilang dia sekitar 37 tahun, tapi ada yang bilang sebenarnya usia dia sekitar 45 tahun. Saya gak tahu persis,” kata dia.

Mabes Polri mengungkap kasus penggelapan dana nasabah di Citibank ini pada Jumat (25/3/2011) atas laporan nasabah. Polisi telah menangkap Malinda dan menyita sejumlah barang bukti, antara lain dokumen-dokumen transaksi dan 1 unit mobil merek Hummer-3 Luxury Sport Utility B 18 DIK yang ditaksir senilai Rp 3,4 miliar.

Malinda dijerat pasal 49 ayat 1 dan 2 UU no 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU no 10 tahun 1998 tentang perbankan dan atau pasal 6 UU no 15 tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU no 25 tahun 2003 sebagaimana diubah dengan UU no 8 tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang.

Citibank telah menyampaikan rilis mengenai kasus ini. Citibank menjamin perlindungan bagi nasabahnya terkait kasus penggelapan dana Rp 17 miliar itu. Citibank menegaskan semua nasabah aman dan akan diberi penggantian bagi yang dirugikan.

“Adalah komitmen kami untuk melindungi kepentingan nasabah kami, termasuk secepatnya mengembalikan kerugian yang dialami oleh nasabah yang hilang melalui transaksi tidak sah di dalam rekening mereka secara adil dan tepat waktu,” kata Director Country Corporate Affairs Head Citi Indonesia, Ditta Amahorseya dalam siaran pers, Senin (28/3/2011) kemarin.

Dia menjelaskan peristiwa penggelapan oleh MD merupakan kejadian yang hanya terjadi di satu tempat dan pihak Citibank telah bertindak cepat untuk menghubungi seluruh nasabah yang mungkin terkena dampak buruk. “Kami bekerja sama dengan seluruh pihak berwenang terkait. Staf yang terlibat tidak lagi bekerja pada kami,” kata Ditta.

Namun, Ditta belum bisa memberikan komentar lebih lanjut mengenai kasus ini, karena masih dalam penyelidikan. Dalam rilisnya, Ditta juga tidak menjelaskan mengenai identitas MD, termasuk riwayat bekerja di Citibank.

Foto Seksi Malinda Dee pastinya bakal makin ramai dicari orang nih. kriminal kerah putih ini memang cantik dan montok. liat saja tuh teteknya yang besar kayak balon. menurut gosip yang beredar malinda dee melakukan suntik Botoks setiap tahun di jepang dan melakukan operasi plastik untuk menjadi cantik.

"Panas banget ya hari ini!” Seringkah Anda mendengar pernyataan tersebut terlontar dari orang-orang di sekitar Anda ataupun dari diri Anda sendiri? Anda tidak salah, data-data yang ada memang menunjukkan planet bumi terus mengalami peningkatan suhu yang mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Selain makin panasnya cuaca di sekitar kita, Anda tentu juga menyadari makin banyaknya bencana alam dan fenomena-fenomena alam yang cenderung semakin tidak terkendali belakangan ini. Mulai dari banjir, puting beliung, semburan gas, hingga curah hujan yang tidak menentu dari tahun ke tahun. Sadarilah bahwa semua ini adalah tanda-tanda alam yang menunjukkan bahwa planet kita tercinta ini sedang mengalami proses kerusakan yang menuju pada kehancuran! Hal ini terkait langsung dengan isu global yang belakangan ini makin marak dibicarakan oleh masyarakat dunia yaitu Global Warming (Pemanasan Global). Apakah pemanasan global itu? Secara singkat pemanasan global adalah peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Pertanyaannya adalah: mengapa suhu permukaan bumi bisa meningkat?

Penyebab Pemanasan Global

Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia. Khusus untuk mengawasi sebab dan dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk sebuah kelompok peneliti yang disebut dengan International Panel on Climate Change (IPCC). Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari masalah tersebut . Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, peternakan, serta pembangkit tenaga listrik.

Apa itu Gas Rumah Kaca?

Atmosfer bumi terdiri dari bermacam-macam gas dengan fungsi yang berbeda-beda. Kelompok gas yang menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat dikenal dengan istilah “gas rumah kaca”. Disebut gas rumah kaca karena sistem kerja gas-gas tersebut di atmosfer bumi mirip dengan cara kerja rumah kaca yang berfungsi menahan panas matahari di dalamnya agar suhu di dalam rumah kaca tetap hangat, dengan begitu tanaman di dalamnya pun akan dapat tumbuh dengan baik karena memiliki panas matahari yang cukup. Planet kita pada dasarnya membutuhkan gas-gas tesebut untuk menjaga kehidupan di dalamnya. Tanpa keberadaan gas rumah kaca, bumi akan menjadi terlalu dingin untuk ditinggali karena tidak adanya lapisan yang mengisolasi panas matahari. Sebagai perbandingan, planet mars yang memiliki lapisan atmosfer tipis dan tidak memiliki efek rumah kaca memiliki temperatur rata-rata -32o Celcius.

Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer. Setiap gas rumah kaca memiliki efek pemanasan global yang berbedabeda. Beberapa gas menghasilkan efek pemanasan lebih parah dari CO2. Sebagai contoh sebuah molekul metana menghasilkan efek pemanasan 23 kali dari molekul CO2. Molekul NO bahkan menghasilkan efek pemanasan sampai 300 kali dari molekul CO2. Gas-gas lain seperti chlorofluorocarbons (CFC) ada yang menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2. Tetapi untungnya pemakaian CFC telah dilarang di banyak negara karena CFC telah lama dituding sebagai penyebab rusaknya lapisan ozon.

Apa Penyebab Utama Pemanasan Global?

Dalam laporan PBB (FAO) yang berjudul Livestock's Long Shadow: Enviromental Issues and Options (Dirilis bulan November 2006), PBB mencatat bahwa industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). Emisi gas rumah kaca industri peternakan meliputi 9 % karbon dioksida, 37% gas metana (efek pemanasannya 72 kali lebih kuat dari CO2), 65 % nitro oksida (efek pemanasan 296 kali lebih kuat dari CO2), serta 64% amonia penyebab hujan asam. Peternakan menyita 30% dari seluruh permukaan tanah kering di Bumi dan 33% dari area tanah yang subur dijadikan ladang untuk menanam pakan ternak. Peternakan juga penyebab dari 80% penggundulan Hutan Amazon.

Sedangkan laporan yang baru saja dirilis World Watch Institut menyatakan bahwa peternakan bertanggung jawab atas sedikitnya 51 persen dari pemanasan global.

Penulisnya, Dr. Robert Goodland, mantan penasihat utama bidang lingkungan untuk Bank Dunia, dan staf riset Bank Dunia Jeff Anhang, membuatnya berdasarkan “Bayangan Panjang Peternakan”, laporan yang diterbitkan pada tahun 2006 oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Mereka menghitung bidang yang sebelumnya dan memperbarui hal lainnya, termasuk siklus hidup emisi produksi ikan yang diternakkan, CO2 dari pernapasan hewan, dan koreksi perhitungan sebenarnya yang menghasilkan lebih dari dua kali lipat jumlah hewan ternak yang dilaporkan di planet ini.

Emisi metana dari hewan ternak juga berperan sebesar 72 kali lebih dalam menyerap panas di atmosfer daripada CO2। Hal ini mewakili kenaikan yang lebih akurat dari perhitungan asli FAO dengan potensi pemanasan sebesar 23 kali. Meskipun demikian, para peneliti itu memberitahu bahwa perkiraan mereka adalah minimal, dan karena itu total emisi 51 persen masih konservatif.

सेमोगा अर्तिकेल इनी मेम्बुअत किता सदर अकन बेतापा पेंटिंग न्य पेदुली तेर्हड़प पेमनासन ग्लोबल।

http://www.pemanasanglobal.net/faq/apa-itu-pemanasan-global.htm


 

./This is it Copyright © 2010 by Bagus